Menulis cerita lucu adalah satu hal, sedangkan menulis lucu adalah level yang lain. Anda mungkin bisa tertawa terbahak-bahak jika melihat langsung saat saya terjatuh terpeleset kulit pisang lalu wajah saya disambut tahi kebo seperti selayaknya adegan-adegan slapstick film Warkop itu. Namun saya yakin, Anda tidak akan tertawa (atau kalaupun tertawa, tidak akan seterbahak-bahak itu) saat adegan tersebut tidak Anda saksikan secara langsung, melainkan hanya Anda ketahui melalui tuturan tulisan.
Sebaliknya, Anda mungkin tidak akan tertawa jika berjumpa dengan Karni Ilyas atau David Letterman. Namun, Anda boleh jadi akan tertawa (minimal menyunggingkan senyum) jika Anda menemui Karni Ilyas dan David Letterman tidak secara langsung, melainkan dari narasi tulisan seperti di bawah ini.
David Letterman, lelaki bangkotan yang namanya bisa di-Indonesia-kan menjadi Daud Suratman itu adalah presenter yang amat kondang, kelasnya internasional. Kalau di level lokal, ada Karni Ilyas, sosok presenter yang amat berkharisma walau suaranya serak parau dan kalau ngomong harus sering dicicil selayaknya tagihan kulkas dari Columbia itu.
Nah, dalam urusan membikin lucu tulisan, saya kira tak ada yang lebih piawai ketimbang Mahbub Djunaidi. Ia, entah kenapa, selalu jenaka ketika memilih kata dan memanfaatkan majas dalam menarasikan sesuatu.
‘Sejak muda, saya tidak pernah bisa bermain bola. Ini membuat perasaan rendah diri, seakan-akan kaki saya cuma sebelah. Seringkali saya duduk termenung di tepi lapangan terheran-heran mengenang nasib. Kadangkala ada juga teman berbaik hati mengajak partisipasi. Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda.’
Itu adalah paragraf pembuka yang ia tulis dalam sebuah esai berjudul Kesatria. Bayangkan, hanya dalam paragraf pembuka saja, ia sudah mengemas dua humor sekaligus. “Seakan-akan kaki saya cuma sebelah”, dan “Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda”.
Mahbub sebenarnya cukup saja menuliskan bahwa ia tak pandai bermain sepakbola. Namun bukan Mahbub namanya kalau ia tak menambahkan bumbu humor.
Masih dalam esai yang sama, Mahbub menulis demikian: ‘Ada organisasi bernama Our Dumb Friend League, organisasi yang merawat binatang seperti keponakan sendiri.’
Ia tak mau menulis Our Dumb Friend League dengan narasi organisasi penyayang binatang, itu terlalu biasa. Dengan sangat jenius, ia menuliskannya dengan “Merawat binatang seperti keponakan sendiri.” Ini tentu level humor yang menyenengkan.
Ketika menuliskan aksi demontrasi di Luneta, Manila, Filipina pada 2 Oktokber 1960, alih-alih menggunakan kalimat “Anak-anak muda, dari usia remaja sampai anak ingusan”, Mahbub justru menuliskannya dengan “Berkerumun ratusan anak-anak. Sebagian sudah remaja, sebagian masih mengulum es lilin.”
Keparat betul, kenapa ia bisa kepikiran untuk menuliskan narasi ‘mengulum es lilin’ itu?
Atau simaklah bagaimana Mahbub menuliskan betapa dahsyatnya Moh. Isnaeni sebagai seorang wartawan itu.
‘Moh. Isnaeni bukanlah wartawan sembarang wartawan, melainkan biangnya wartawan. Ibarat beras, dia itu beras Cianjur. Apa yang lebih hebat daripada itu? Tidak ada. Andaikata dia bukan berasal dari Madiun, melainkan dari Isfahan di Iran, berani taruhan, pangkatnya sudah mullah. Ke mana telunjuknya menuding, ke sana orang bergegas, hingga tersandung-sandung.’
Mahbub piawai merangkai metafora, alegori, dan asosiasi. Apa yang harusnya serius, di tangannya bisa menjadi jenaka.
Tulisan-tulisannya selalu memikat bahkan sejak paragraf pertama. Maka, rasanya tak berlebihan jika saya selalu merekomendasikan buku Mahbub-buku Mahbub Djunaidi.
Kemarin, saat nongkrong di kafe Lehaleha milik bos besar Pak Yai Edi “Taipan” Mulyono itu, seorang mahasiswa mendadak mendatangi saya dan meminta tips menulis jenaka. Saya tak punya tips yang jauh lebih masuk akal selain “Baca buku Humor Jurnalistik-nya Mahbub.”
Tips itu pula yang sering saya katakan kepada banyak orang, utamanya kalau saya diminta menjadi pemateri tentang penulisan kreatif.
Bersama Umar Kayam dan Prie GS, Mahbub adalah penulis yang tulisan-tulisannya sering saya baca ulang. Saya banyak belajar menulis lucu dari tulisan-tulisannya, dan merasa sangat terberkati karena diberi kesempatan untuk mengenal kolom-kolomnya.
Saya nyaris selalu merasa gagal kalau menulis sesuatu yang serius, ngintelek, ndakik-ndakik, kontemplatif, dan hal-hal luhur lainnya, maka menulis lucu adalah ruang kompetisi yang setidaknya saya merasa tidak gagal-gagal amat. Dan hal itu, sedikit banyak, ada campur tangan tulisan-tulisan Mahbub.
Kalau Anda tertarik ingin bisa menulis “lucu”, buku-buku Mahbub, utamanya yang ‘Humor Jurnalistik’ ini tentu layak menjadi bacaan penting bagi Anda.