Ramadhan sudah hampir selesai. Jumlah saf salat tarawih sudah mulai berada di angka yang memprihatinkan. Orang-orang mulai sibuk mempersiapkan mudik. Sebuah migrasi besar-besaran yang kerap menjadi semacam tantangan terbuka bagi Pemerintah. Ia menjadi parameter sukses atau tidaknya seorang Menteri Perhubungan dalam menjalankan tugas.
Puncak amalan ramadhan adalah zakat fitrah, sedang puncak kulturalnya adalah mudik. Keduanya adalah dua entitas yang berbeda, namun sama-sama punya satu misi: penyucian.
Mudik, bagi banyak orang adalah perjalanan panjang menuju hari yang baru. Ia jauh lebih punya makna ketimbang sekadar perjalanan menuju alun-alun di malam tahun baru untuk menonton indahnya kembang api. Sebagai sebuah perjalanan, mudik adalah salah satu perjalanan yang paling pantas untuk diperjuangkan. Harga tiket boleh mahal, kondisi transportasi boleh amburadul, bekal pun boleh tak seberapa, namun begitu, mudik harus tetap jalan.
Mudik menjadi ritual yang sangat berarti, sebab ia memang menjadi ajang pelarian yang paling menyenangkan. Ia semacam pengikis endapan segala rupa yang serba menyedihkan di rantau: angkuhnya kota, galaknya atasan, menyebalkannya rekan kerja, egoisnya gaya hidup urban, dan segala pergulatan-pergulatan buruk lainnya.
Di kota, menusia tumbuh menjadi manusia yang tidak manusia. Ia tumbuh pada kultur yang sangat bukan dirinya. Lingkungan yang jauh dari guyubnya desa, tuntutan pekerjaan yang kejam dan sering tidak beperikemanusiaan, pergaulan yang terlalu showbiz, mau tak mau membuat banyak manusia lupa akan identitasnya. Di kota, manusia hidup dengan sangat mekanis.
Mudik jadi punya posisi yang penting, sebab ia menawarkan terapi yang paling tokcer untuk mengembalikan manusia pada kediriannya. Bertemu dengan keluarga, kerabat, sanak-saudara, di tempat yang begitu hangat, dengan makanan yang terasa akrab di lidah.
Mudik menjadi pembuktian paling hakiki, bahwa semaju dan sesukses apa pun seseorang di rantau, ia tetaplah anak ingusan dari kampung halaman.
Pada akhirnya, momen mudik lebaran memang menjadi laku yang begitu emosional. Perjalanan kembali ke kampung halaman itu tak hanya menarik kita kepada kenangan-kenangan nostalgik yang semakin hari semakin terkikis. Lebih dari itu, ia mengedarkan ingatan pada halaman rumah di mana kita biasa bermain gundu, pohon di mana kita dulu terbiasa mencuri rambutan, atau sungai di mana kita dulu sering mandi telanjang bersama kawan-kawan.
Perjalanan kembali itu menjadi begitu suci, ia tak ubahnya seperti ritual haji, dengan rumah sebagai kakbahnya, yang terus saja kita pandangi, dan telapak tangan ibu kita sebagai hajar aswatnya, yang tak henti-hentinya kita ciumi.
Kita semua boleh saja menunaikan sholat subuh di masjidil haram, sholat dhuhur di mushola kecil di salah satu sudut pusat perbelanjaan, sholat ashar di rest area tepi jalan pantura, sholat maghrib di masjidil aqsa, sholat isya di kamar kosmu yang bau dan butut, atau sholat tarawih di pelataran Monas. Tapi khusus untuk sholat Ied, kita semua sepertinya sepakat, bahwa tempat terbaik untuk menunaikannya adalah di halaman masjid di kampung kelahiran kita sendiri.
Untuk kalian yang sudah mudik, selamat bernostalgia. Nikmati mudikmu. Tuntaskan rindumu, dan syukuri lebaranmu. Di luar sana, ada banyak orang yang terpaksa menangis sedih sebab tak bisa pulang ke kampung halaman.
Sebuah fragmen tak terbayangkan, yang oleh Didi Kempot dilantunkan dengan begitu sentimentil dalam tembangnya “Tulisan Tangan”
“Udan-udan dalane lunyu…
“Lintange ndelik mbulane turu…
“Langite mendung ing wanci ndalu…
“Nambahi kangene atiku…
“Sworo takbir ngelingke aku…
“Pengin nangis jroning batinku…
“Karep mulih ora nduwe sangu…
“Ra biso sungkem romo lan ibu…